Pengaruh Covid-19 Sebagai Force Majeure Terhadap Hubungan Kerja Oleh: Juanda Pangaribuan*)

Apabila bencana nasional menimbulkan dampak kerugian bagi perusahaan, yang ideal mengatakan perusahaan mengalami force majeure adalah perusahaan itu sendiri.

Mencegah penyebaran wabah Covid-19 meluas, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), Gubernur dan Bupati menerbitkan surat edaran (SE) terkait pencegahan Covid-19. Bahkan sebagian kantor dinas tenaga kerja tidak ketinggalan menerbitkan SE dan surat himbauan supaya perusahaan mengurangi atau menghentikan kegiatan usaha, meliburkan pekerja, serta mewajibkan pekerja melakukan isolasi mandiri. Muncul pertanyaan, bagaimana dampak atau pengaruh Covid-19 terhadap hubungan kerja?

Dampak pun muncul mengakibatkan beberapa perusahaan merumahkan sebagian pekerja. Sebagian lagi bekerja dari rumah (work from home/WFH). Semua pekerja, pada kantor perusahaan tertentu, tanpa membedakan jabatan, melakukan WFH. Di tempat berbeda, WFH hanya pada level managerial atau staf tertentu. Sedangkan yang lain, misalnya karyawan pabrik, marketing, sales promotion girl (SPG), driver, dan lain-lain, dirumahkan.

Di tengah pencegahan Covid-19, dan setelah terbit Keppres No. 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Covid-19 Sebagai Bencana Nasional, apakah perusahaan salah melakukan WFH dan merumahkan pekerja? Merumahkan pekerja merupakan tindakan dari pengusaha untuk meminta pekerja supaya tidak masuk bekerja karena alasan tertentu. Perusahaan merumahkan pekerja, dalam praktik hubungan kerja, karena: a) pekerja menjalani proses pembinaan; b) pekerja menjalani proses PHK; c) operasional perusahaan berhenti atau dibatasi; d) order dan produksi menurun/berkurang. Alasan lain yang bersifat kasuistis, perusahaan merumahkan pekerja karena bencana alam misalnya tsunami, banjir bandang, dan bencana nonalam seperti wabah Covid-19.

Tindakan merumahkan dilakukan karena pemerintah dan perusahaan mengkhawatirkan pekerja bisa terpapar Covid-19. Kalau terdapat korban jiwa, perusahaan bisa dituduh melakukan kelalaian yang memakan korban manusia (negligent manslaughter). Merespons kejadian seperti itu, masyarakat mungkin saja melakukan kampanye untuk mengajak masyarakat menolak menggunakan jasa atau produk perusahaan. Sedangkan pemerintah sangat mungkin menjatuhkan sanksi kepada perusahaan.  

Bisa dikatakan, merumahkan karyawan pada saat ini karena: a) perusahaan taat pada himbauan dan permintaan pemerintah; b) perusahaan patuh pada peraturan perundang-undangan; c) perusahaan peduli pada kesehatan dan keselamatan jiwa pekerja; d) perusahaan mengutamakan kepentingan umum, bangsa dan negara. Merujuk pada alasan tersebut, maka perusahaan yang menerapkan WFH dan merumahkan pekerja, dari segi hukum ketenagakerjaan, tidak bisa disalahkan.   

Kalau kesimpulan seperti di atas, ketika perusahaan merumahkan pekerja, terbentuk empat fakta, yaitu: 1) pengusaha dan pekerja memiliki kesadaran yang sama tentang arti pentingnya sehat dan selamat dari paparan Covid-19; 2) WFH maupun dirumahkan merupakan pilihan yang terpaksa; 3) WFH dan dirumahkan merupakan dampak dari kedaruratan kesehatan masyarakat; 4) dirumahkan untuk menjaga kesehatan dan keselamatan jiwa masyarakat luas.

Upah WFH dan Dirumahkan

Ketika pekerja melakukan pekerjaannya, sesuai hukum ketenagakerjaan, pengusaha wajib membayar upah. Secara a contrario, pekerja yang tidak bekerja, tidak berhak atas upah. Sesuai UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 93 ayat (1), juncto Pasal 24 ayat (1) PP No. 78 tahun 2015, perusahaan dapat menerapkan prinsip no work no pay. Sekarang muncul fakta yang unik, pekerja dirumahkan karena perusahaan menghormati dan berpartisipasi mensukseskan upaya pemerintah mencegah penularan Covid-19.  

Masalah Covid-19 menimbulkan tiga peristiwa baru di dalam hubungan kerja, yaitu: 1) Pekerja dirumahkan bukan karena dikehendaki oleh pengusaha; 2) Pekerja dirumahkan bukan karena keinginan atau karena pekerja melakukan pelanggaran; 3) Pekerja dirumahkan dan perusahaan tidak berproduksi karena sama-sama melaksanakan perintah atau himbauan dari pemerintah. Ketika ketiga hal itu terjadi sedemikian rupa, apakah pengusaha wajib membayar upah selama dirumahkan? Apakah pekerja beralasan mengkualifisir dirinya menjalankan tugas negara?

Seandainya pemerintah merekrut pekerja dari suatu perusahaan untuk menjadi relawan   menghadapi Covid-19 mengakibatkan pekerja itu berhalangan masuk bekerja, maka pekerja tersebut bisa dikualifikasi menjalankan tugas negara. Sebaliknya, ketika pekerja dirumahkan dan berdiam diri di dalam rumah, tidak cukup alasan mengkualifisirnya menjalankan tugas negara. Kalau pekerja mengaku menjalankan tugas negara, perusahaan pun bisa mengemukakan claim yang sama. Sejalan dengan itu, meskipun ketentuan di bawah ini bersifat fakultatif, ketika pekerja dirumahkan karena perusahaan mentaati perintah atau himbauan pemerintah mencegah penyebaran Covid-19, perusahaan berpeluang menerapkan Pasal 93 ayat (1) UUK juncto Pasal 24 ayat (1) PP No. 78 tahun 2015.  

Ketika perusahaan menerapkan ketentuan di atas, perusahaan berpeluang melakukan salah satu dari empat hal  ini: (1) Membayar upah pokok dan tunjangan tetap, tetapi tidak membayar tunjangan tidak tetap; (2) Membayar upah pokok, tetapi tidak membayar seluruh jenis tunjangan; (3) Memotong upah pokok tanpa membayar tunjangan-tunjangan; (4) Tidak membayar upah. Sedikit berbeda dengan WFH. Pekerja yang menjalani WFH, berhak atas upah, tetapi beralasan tanpa tunjangan tidak tetap (T3).

Ketika perusahaan menerapkan Pasal 93 ayat (1) UU Ketenagakerjaan dan Pasal 24 ayat (1) PP 78/2015 sebagai rujukan tidak membayar upah bagi pekerja yang dirumahkan, menuduh perusahaan melakukan pelanggaran hukum, merupakan hal yang sulit. Alasannya sebagai berikut: a) Kedua ketentuan di atas merupakan hukum positif, perusahaan dapat menerapkannya terhadap peristiwa konkret; b) Perusahaan merumahkan pekerja karena mentaati perintah atau himbauan  pemerintah yang sedang berupaya menghentikan penyebaran Covid-19; c) Kalau pekerja tidak dirumahkan: perusahaan bisa dituduh menghambat pencegahan penyebaran Covid-19 dan mengancam keselamatan jiwa pekerja dan keluarganya, serta masyarakat luas; d) Ketika pekerja dirumahkan, dan produksi berhenti atau dikurangi, perusahaan mengalami kerugian; e) Perusahaan dan pekerja sama-sama mengabdi pada kepentingan umum/negara.

Menghadapi Covid-19, peluang pengusaha merumahkan pekerja, memotong atau tidak membayar upah pekekerja, mengubah cara pembayaran upah, rekomendasinya tersedia pada butir II.4 SE Kemnaker Nomor M/3/HK.04/III/2020. Melihat waktu dan alasan terbitnya SE tersebut, maka SE Nomor SE-05/M/BW/1998, bukan rujukan untuk menghadapi akibat Covid-19.

Konten kedua SE itu terkesan mirip, pada hal berbeda. Masing-masing terbit dengan latar belakang yang berbeda. SE Nomor M/3/HK.04/III/2020 merupakan antisipasi pemerintah terhadap dampak pencegahan Covid-19, sedangkan SE Nomor 05/M/BW/1998, terbit akibat resesi ekonomi pada tahun 1998. Melihat substansi butir II.4 SE Kemnaker Nomor M/3/HK.04/III/2020, SE ini identik sebagai ungkapan untuk mengatakan bahwa hukum tidak berlaku dalam keadaan darurat (necessitas non habet legem), dan hal yang darurat menghapus hukum (necessitas vincit legem).

Seandainya perusahaan menerapkan butir II.4 SE Kemnaker Nomor M/3/HK.04/III/2020, apakah perusahaan dan pekerja mampu menemukan solusi? Melihat masalahnya, potensi solusi yang bisa disepakati ada dua, yaitu memotong upah atau menghentikan pembayaran upah. Kalau perusahaan diharuskan membayar seluruh upah, sementara kondisi pandemik tidak diketahui pasti kapan akan berakhir, perusahaan bisa menganggap itu sebagai ancaman terhadap kelangsungan usahanya. Selanjutnya, ketika perundingan dilakukan untuk membicarakan penghentian pembayaran upah, negosiasi berikutnya ada dua pilihan, yaitu mempertahankan hubungan kerja tanpa membayar/menerima upah, atau perusahaan dan pekerja sepakat mengakhiri hubungan kerja (PHK).

Mengingat pekerja dirumahkan karena perusahaan dan pekerja membantu pemerintah mencegah penyebaran Covid-19, dan berbagai peraturan di atas mengatakan Covid-19 menimbulkan keadaan darurat, maka merupakan tindakan heroik ketika pekerja menyampaikan kepada perusahaan kesediaannya mempertahankan hubungan kerja meskipun upahnya tidak dibayar selama dirumahka. Sekadar bahan perenungan, pasca penanganan Covid-19, proses recovery ekonomi, produksi perusahaanmembutuhkan waktu yang tidak singkat.

PHK

Perusahaan merumahkan pekerja, operasional dan produksi dipastikan berhenti. Dampaknya, perusahaan kehilangan pendapatan. Kalau penanganan Covid-19 selesai dalam waktu 1 atau 2 minggu, barangkali perusahaan i memiliki amunisi untuk bertahan. Kalau produksi berhenti sampai hitungan bulan, perusahaan akan menghadapi masalah.

Relevan dengan uraian di atas, apakah di tengah badai Covid-19 perusahaan akan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK)? Pada umumnya, perusahaan memiliki ketahanan finansial yang berbeda-beda. Perusahaan yang cash flow atau likuiditasnya (terancam) kronis akibat Covid-19, berpeluang melakukan PHK. Di dalam konsepsi hukum ketenagakerjaan, kunci utamanya adalah alas an PHK. Kalau alasan tidak melanggar UU, hukum membolehkan PHK.

Ketika perusahaan melakukan PHK di tengah pandemi Covid-19, apakah tindakan itu melanggar hukum? Untuk menemukan jawabannya, harus lebih dulu memperhatikan alasan PHK-nya. Kalau alasannya bukan hal-hal sebagaimana dilarang dalam Pasal 153 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, maka PHK boleh dilakukan. Selanjutnya, untuk menilai legalitas PHK, cukup memperhatikan dua hal, yaitu alasan dan kompensasi. Kalau rumus perhitungan kompensasi sudah sesuai dengan alasan PHK, maka PHK sulit ditolak.

Merujuk pada norma dan praktik peradilan, bipartit bukan forum legalisasi perselisihan hubungan industrial, termasuk PHK. Kadang bipartit dianggap sebagai formalitas prosedur. Akibatnya bipartit tidak bisa digunakan menghentikan PHK atau rencana perusahaan. Meskipun bipartit wajib dilakukan, tetapi tidak wajibn menghasilkan kesepakatan. Kalau para pihak bertekad menyelesaikan perselisihan di dalam bipartit, karakter yang tampak selama ini, forum itu dimanfaatkan maksimal. Sebaliknya, Ketika bipartit dianggap tidak efektif, forum itu sekadar dilalui begitu saja. Oleh karena itu, praktik penyelesaian perselisihan hubungan industrial memposisikan bipartit bukan forum legalisasi PHK. Sebagian putusan pengadilan mengatakan hubungan kerja berakhir sejak hakim membacakan putusan atau sejak perusahaan melakukan PHK. Sebagian lainnya mengatakan hubungan kerja berakhir sejak mediator menerbitkan anjuran atau sejak pekerja mengundurkan diri.

Force Majeur

Relevan dengan Covid-19 dan Keppres 12 Nomor 2020, apa alasan krusial melakukan PHK? Alasan PHK itu selalu berkaitan dengan kompensasi. Ketika perusahaan menghentikan operasional dan merumahkan pekerja, perusahaan tentu kehilangan sumber pendapatan. Merespons situasi seperti itu, ketika termotivasi melakukan PHK, kemungkinan alasan yang dipilih perusahaan bukan karena merugi atau efisiensi.   

Kalau pencegahan Covid-19 mengakibatkan perusahaan rugi karena produksi, distribusi, order, dan sebagainya berhenti, perusahaan sangat mungkin mengatakan sulit mempertahankan hubungan kerja. Ketika pilihan itu tidak bisa dihindari, perusahaan akan mencari peluang melakukan PHK dengan alasan force majeure. Dalam konteks PHK, force majeure atau merugi sebagai alasan PHK, bisa dikaitkan dengan kompensasi, keduanya mengandung konsekuensi yang sama.

Namun demikian, antara force majeure dan merugi, terdapat persyaratan hukum yang berbeda. Kalau alasan PHK mengatakan perusahaan rugi akibat Covid-19, berpotensi muncul debat mengatakan perusahaan wajib menyajikan hasil audit dari akuntan publik. Melihat sisi praktisnya, kalau kerugian itu benar-benar timbul karena dampak Covid-19, perusahaan lebih berpeluang mengatakan force majeure.

Selanjutnya, untuk mengatakan Covid-19 menimbulkan keadaan memaksa (force majeure) sebagaimana dimaksud pada Pasal 164 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, perusahaan wajib mengatakan Covid-19 sebagai bencana yang timbul dari luar kekuasaannya dan tidak memiliki kemampuan untuk mengatasinya. Untuk mendukung pernyataan seperti itu, perusahaan bisa saja merujuk pada Kepres No. 12 tahun 2020, Keppres No. 11 Tahun 2020, PP No. 21 tahun 2020  dan UU No. 24 Tahun 2007. Produk hukum itu menyimpulkan Covid-19 sebagai bencana nonalam berskala nasional (bencana nasional). Bencana di dalam UU No. 24 Tahun 2006 dibagi tiga yaitu bencana alam, bencana nonalam dan bencana sosial.

Setiap bencana mengakibatkan kedaruratan. Kalau timbul gangguan operasional pemasaran, likuiditas, cash flow, produksi berhenti atau dibatasi, dan lain-lain sebagai akibat dari Covid-19, perusahaan berpeluang mengatakan kondisi itu sebagai keadaan memaksa atau force majeure untuk melakukan PHK.

Selain berdasarkan norma hukum di atas, norma hukum berikut berpeluang mendukung perusahaan mengatakan force majeure, yaitu:

    1. Keputusan Menteri Kesehatan (KMK) Nomor HK.01.07/Menkes/239/2020, tanggal 7 April 2020, tentang Penetapan Sosial Berskala Besar Di Wilayah Propinsi DKI Jakarta Dalam Rangka Percepatan Penangaan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Salah satu konsiderans mengingat dari KMK ini adalah UU No. 24 tahun 2007. 
    2. UU No. 6 tahun 2018  tentang Kekarantinaan Kesehatan.
    3. Keputusan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 9.A Tahun 2020 tentang Penetapan Status  Keadaan tertentu Darurat Bencana Wabah Penyakit Akibat Virus Corona di Indonesia ; Keputusan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 13.A Tahun 2020, tanggal 29 Februari 2020, tentang Perpanjangan Status  Keadaan tertentu Darurat Bencana Wabah Penyakit Akibat Virus Corona di Indonesia.
    4. Surat Edaran (SE) Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/3/HK.04/III/2020, tanggal 17 Maret 2020. Kalau Kemnaker tidak menilai Covid-19 sebagai bencana, SE tidak mungkin memberi peluang kepada pengusaha melakukan perubahan besaran upah dan cara pembayarannya. 
    5. Keputusan Dirjen Pajak No. Kep-156/PJ/2020, tanggal 20 Maret 2020.  
    6. Surat Disnakertrans Kabupaten Karawang Nomor : 568/2308/HIPK, tanggal 26 Maret 2020. Nomor 8 dan nomor 9  mengatakan menyebaran Covid-19 sebagai force majeur.    
  1.  

Siapa yang berwenang mengatakan perusahaan mengalami force majeure? UU tidak memberi jawaban atas pertanyaan itu. Apabila bencana nasional menimbulkan dampak kerugian bagi perusahaan, yang ideal mengatakan perusahaan mengalami force majeure adalah perusahaan itu sendiri. Pemerintah tidak akan mengatakan secara eksplisit Covid-19 sebagai force majeure bagi semua perusahaan.

Pengakuan pemerintah akan adanya force majeure di perusahaan akan diimplementasikan ke dalam bentuk kebijakan yang dianggap bisa meringankan beban perusahaan dan pekerja seperti halnya mengurangi beban pajak, membolehkan perusahaan mengubah besaran upah dan cara pembayarannya, serta memberikan bantuan kepada pekerja yang mengalami PHK akibat pencegahan Covid-19.

*)Juanda Pangaribuan adalah Hakim Ad Hoc PHI Jakarta Pusat, 2006 – 2016, saat ini sebagai Advokat Spesialis Ketenagakerjaan di Jakarta.



Tulisan ini dimuat di hukumonline

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *